1.
Pengertian
Fitrah
Secara
bahasa, fitrah (fithrah) berasal dari kata fathara–yafthuru–fathr[an] wa
futhr[an] wa fithrat[an] yang berarti pecah, belah, berbuka, mencipta. Al-fathr
artinya pecah atau belah. Dari makna ini, diambil pengertian Fithru as-Shâ’im
(berbukanya orang berpuasa), karena ia membuka mulutnya. Tanggal 1 Syawal
disebut Idul Fitri, yakni Hari Raya Berbuka. Fathara an-Nâqah, mashdar-nya,
al-fathr berarti memerah susu onta dengan ibu jari dan telunjuk kedua tangan;
sedangkan al-futhr artinya susunya sedikit ketika diperah, (Kamus Lisân
al-‘Arab, 5/55-59).
Sedangkan kata fathara Allâh artinya Allah mencipta. Jadi, al-fithr artinya ciptaan. Menurut orang-orang Arab asli, fathara artinya memulai atau mencipta dan mengkreasi. Hal ini seperti yang dituturkan ar-Razi (Mukhtâr as-Shihâh, 1/212) dari Ibn ‘Abbas ra. yang berkata, “Aku tidak tahu apa arti Fâthir as-Samawât hingga datang kepadaku dua orang Arab Baduwi yang sedang berselisih mengenai sumur. Salah seorang dari mereka berkata, 'Fathartuhâ,' yakni ibtadâ’tuhâ (Aku yang memulai/membuatnya)."
Dalam al-Quran, kata fathara (mencipta) terdapat dalam surat al-An‘am: 67; ar-Rum: 30; al-Isra’: 51; Thaha: 72; Hud: 51; Yasin: 22; aL-Anbiya’: 56; dan az-Zukhruf: 27. Kata fâthir (pencipta) terdapat dalam Yusuf: 101; Fathir: 1; Ibrahim: 10; asy-Syuara: 11; al-An’am: 14. Kata futhûr (sesuatu yang tidak seimbang) terdapat dalam surat al-Mulk: 3. Kata yatafaththar-na (pecah atau belah) terdapat dalam surat Maryam: 90 dan asy-Syura: 5. Kata infatharat (terbelah/terpecah) terdapat dalam surat al-Infithâr: 1. Kata munfathir (menjadi pecah-belah) terdapat dalam surat al-Muzammil: 18.
Kata fitrah sendiri diungkapkan Allah hanya dalam satu ayat. Allah Swt. berfirman:
Sedangkan kata fathara Allâh artinya Allah mencipta. Jadi, al-fithr artinya ciptaan. Menurut orang-orang Arab asli, fathara artinya memulai atau mencipta dan mengkreasi. Hal ini seperti yang dituturkan ar-Razi (Mukhtâr as-Shihâh, 1/212) dari Ibn ‘Abbas ra. yang berkata, “Aku tidak tahu apa arti Fâthir as-Samawât hingga datang kepadaku dua orang Arab Baduwi yang sedang berselisih mengenai sumur. Salah seorang dari mereka berkata, 'Fathartuhâ,' yakni ibtadâ’tuhâ (Aku yang memulai/membuatnya)."
Dalam al-Quran, kata fathara (mencipta) terdapat dalam surat al-An‘am: 67; ar-Rum: 30; al-Isra’: 51; Thaha: 72; Hud: 51; Yasin: 22; aL-Anbiya’: 56; dan az-Zukhruf: 27. Kata fâthir (pencipta) terdapat dalam Yusuf: 101; Fathir: 1; Ibrahim: 10; asy-Syuara: 11; al-An’am: 14. Kata futhûr (sesuatu yang tidak seimbang) terdapat dalam surat al-Mulk: 3. Kata yatafaththar-na (pecah atau belah) terdapat dalam surat Maryam: 90 dan asy-Syura: 5. Kata infatharat (terbelah/terpecah) terdapat dalam surat al-Infithâr: 1. Kata munfathir (menjadi pecah-belah) terdapat dalam surat al-Muzammil: 18.
Kata fitrah sendiri diungkapkan Allah hanya dalam satu ayat. Allah Swt. berfirman:
"Hadapkanlah wajahmu dengan lurus pada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui". (QS ar-Rum[30]:30).
Ayat ini oleh para ulama dikaitkan dengan firman Allah:
"Ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), "Bukankah Aku ini Tuhan kalian?" Mereka menjawab, "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami melakukan yang demikian itu) agar pada Hari Kiamat kalian tidak mengatakan, "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)." (QS al-A'raf [7]: 172).
Kedua
ayat tersebut selanjutnya sering dikaitkan tafsirnya dengan hadis yang
dituturkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasul saw. bersabda:
كُلُّ
مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ
يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِه
Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah. Ibu-bapaknyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Ahmad, Malik).
At-Thabari dan Ibn al-Mundzir menjelaskan, dengan mengutip pendapat Mujahid, bahwa fitrah yang dimaksud adalah agama (dîn) Islam. Ini juga makna yang dipegang oleh Abu Hurairah dan Ibn Syihab. Maknanya bahwa seorang anak dilahirkan dalam keadaan selamat dari kekufuran. Itulah janji setiap jiwa kepada Allah tatkala masih dalam kandungan, sebagaimana diisyaratkan dalam surat al-A'raf ayat 172.
Makna fitrah yang tepat adalah seperti yang disampaikan oleh Ibn Abd al-Bar dan Ibn ‘Athiyah, yaitu karakter ciptaan dan kesiapan yang ada pada diri anak ketika dilahirkan, yang menyediakan atau menyiapkannya untuk mengidentifikasi ciptaan-ciptaan Allah dan menjadikannya dalil pengakuan terhadap Rabb-nya, mengetahui syariatnya, dan mengimani-Nya.
Abu al-‘Abbas menyatakan bahwa Allah Swt. menciptakan hati anak Adam siap untuk menerima kebenaran seperti menciptakan mata siap untuk melihat dan telinga siap untuk mendengar. Hanya saja, faktor-faktor berupa bisikan setan jin maupun setan manusia serta hawa nafsu bisa meggelincirkannya dari kebenaran. Jadi, ibu-bapaknya dalam hadis di atas merupakan permisalan dari bisikan setan yang menjadikannya seorang kafir atau musyrik.
Ibn al-Atsir mengomentari hadits di atas: Fitrah adalah ciptaan atau kreasi. Fitrah di antaranya adalah kondisi seperti berdiri atau duduk. Hadits tersebut bermakna bahwa setiap insan dilahirkan di atas suatu jenis dari jibillah (ciptaan) dan tabiat yang siap-sedia untuk menerima agama. Hal senada diungkapkan oleh Zamakhsyari. (Al-Fâ’iq, 3/128).
Berdasarkan nash-nash di atas, maka makna fitrah adalah karakteristik ciptaan, yaitu karakteristik bawaan yang melekat dalam diri setiap manusia sejak dilahirkan.
Jika kita analisis, karakteristik bawaan itu tidak lain adalah potensi kehidupan manusia berupa hajât al-‘udhâwiyah (kebutuhan untuk tetap hidup) dan gharâ’iz—jamak dari gharîzah—(naluri/insting). Tabiat yang berupa kesiapan menerima agama dan kelurusan itu tidak lain adalah gharîzah at-tadayyun (naluri beragama). Jadi, kesaksian dalam surat al-A'raf tersebut adalah kesaksian naluriah/instingtif (syahâdah ghâriziyyah atau syahâdah fithriyyah) dan bukan kesaksian imani (syahâdah îmâniyyah). Kesaksian itu tidak akan bisa dilupakan oleh manusia karena melekat dalam dirinya dan tidak akan hilang sampai kematiannya dan sampai generasi manusia yang terakhir. Itulah yang ditegaskan Allah dalam al-A'raf ayat 172-173.
2.
Teori Tabularasa
Teori
Tabularasa (John Locke dan Francis Bacon). Teori ini mengatakan bahwa anak yang
baru dilahirkan itu dapat diumpamakan sebagai kertas putih yang belum ditulisi
(a sheet ot white paper avoid of all characters). Jadi, sejak lahir anak itu
tidak mempunyai bakat dan pembawaan apa-apa. Anak dapat dibentuk sekehendak pendidiknya.
Di sini kekuatan ada pada pendidik. Pendidikan dan lingkungan berkuasa atas
pembentukan anak.
Pendapat
John Locke seperti di atas dapat disebut juga empirisme, yaitu suatu aliran
atau paham yang berpendapat bahwa segala kecakapan dan pengetahuan manusia itu
timbul dari pengalaman (empiri) yang masuk melalui alat indera.
Kaum behavioris juga berpendapat senada dengan teori tabularasa itu. Behaviorisme tidak mengakui adanya pembawaan dan keturunan, atau sifat-sifat yang turun-temurun. Semua Pendidikan, menurut behaviorisme, adalah pembentukan kebiasaan, yaitu menurut kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di dalam lingkungan seorang anak.
Kaum behavioris juga berpendapat senada dengan teori tabularasa itu. Behaviorisme tidak mengakui adanya pembawaan dan keturunan, atau sifat-sifat yang turun-temurun. Semua Pendidikan, menurut behaviorisme, adalah pembentukan kebiasaan, yaitu menurut kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di dalam lingkungan seorang anak.
3.
Fitrah dan
Pengembangannya menurut Al Qur’an dan Hadits
Al-Qur'an
merupakan firman Allah yang selanjutnya dijadikan pedoman hidup (way of life)
kaum muslim yang tidak ada lagi keraguan di dalamnya. Di dalamnya terkandung
ajaran-ajaran pokok (prinsip dasar) menyangkut segala aspek kehidupan manusia
yang selanjutnya dapat dikembangkan sesuai dengan nalar masing-masing bangsa
dan kapanpun masanya dan hadir secara fungsional memecahkan problem
kemanusiaan. Salah satu permasalah yang tidak sepi dari perbincangan umat
adalah masalah pendidikan.
Dalam
al-Qur'an sendiri telah memberi isyarat bahwa permasalahan pendidikan sangat penting,
jika al-Qur'an dikaji lebih mendalam maka kita akan menemukan beberapa prinsip
dasar pendidikan, yang selanjutnya bisa kita jadikan inspirasi untuk
dikembangkan dalam rangka membangun pendidikan yang bermutu. Ada beberapa
indikasi yang terdapat dalam al-Qur'an yang berkaitan dengan pendidikan antara
lain; Menghormati akal manusia, bimbingan ilmiah, fitrah manusia, penggunaan
cerita (kisah).
Setiap
manusia dapat memperoleh pendidikan dan hasil belajar yang baik sesuai dengan
petunjuk agama. Dalam hal ini, agama Islam dengan al-Qur’an sebagai sumber
utamanya menuntut penganutnya untuk memperdalam ilmu pengetahuannya, sesuai
dengan tabiat agama. Ini berarti bahwa teori-teori aliran kependidikan yakni
nativisme, empirisme, dan kovergensi bukan menjadi acuan konsep pendidikan
al-Qur’an. Namun al-Qur’an lah yang memberikan konsep terhadap aliran-aliran
pendidikan tersebut.
Menurut
al-Qur’an, manusia pada tabiatnya adalah homo religious (makhluk
beragama) yang sejak lahirnya telah membawa suatu kecenderungan beragama.
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ
الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ
الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
"Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah di atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui".
Term فطرت الله (fitrah Allah) dalam ayat di atas,
mengandung interpretasi bahwa manusia diciptakan oleh Allah mempunyai naluri
beragama, yaitu agama tauhid. Potensi fitrah Allah pada diri manusia ini
menyebabkannya selalu mencari realitas mutlak, dengan cara mengekspresikannya
dalam bentuk sikap, cara berpikir dan bertingkah laku. Karena sikap ini manusia
disebut juga sebagai homo educandum (makhluk yang dapat didik) dan homo
education (makhluk pendidik), karena pendidikan baginya adalah suatu keharusan
guna mewujudkan kualitas dan integritas kepribadian yang utuh.
Posisi
manusia sebagai homo religious dan homo educandum serta homo
education sebagaimana disebutkan di atas, mengindikasikan bahwa sikap
kegiatan belajar bagi setiap manusia dapat diarahkan melalui proses pendidikan
dengan memandang fitrah sebagai obyek yang harus dikembangkan dan
disempurnakan, dengan cara membimbing dan mengasuhnya agar dapat memahami,
menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran keagamaan (Islam) secara universal.
Dalam hal ini, al-Qur’an maupun hadis meskipun tidak secara eksplisit
membicarakan tentang konsep dasar keberagamaan yang dimaksud, tetapi secara
implisit dari konteks ayat maupun hadis terdapat petunjuk yang mengarah tentang
pendidikan keberagamaan. Misalnya saja, dalam QS. al-Tahrim (66) : 6 Allah
berfirman:
ياأيها الذين آمنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا
"Hai
orang-orang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari neraka…"
Muatan ayat
tersebut sebagai motivasi bagi setiap orang tua (khusus-nya orang-orang
beriman) untuk selalu mengawasi anak-anak mereka dalam aspek pendidikan, karena
anak-anak atau keluarga merupakan sebagai bagian terpenting dari struktur rumah
tangga. Dengan kata lain, orang tua hendaknya tidak mengabaikan kewajiban
edukatifnya, yakni memelihara, membimbing dan mendidik anak-anaknya menjadi
anggota keluarga yang senang pada kebaikan dan menjauhi kemaksiatan.
Secara jelas
perintah tersebut mengarah pada aspek pembinaan mental keberagamaan anak dalam
rangka mewujudkan suasana keluarga sakinah yang selalu taat menjalani fungsinya
dengan baik. Wadah inilah sebagai penentu keberagamaan anak di masa depan.
Kaitannya dengan Nabi saw bersabda dalam satu hadisnya:
عن ابي هريرة رضي الله عنه قال : قال النبي صلى الله
عليه وسلم : كل مولد يولد على الفطرة فابواه يهودانه او ينصرانه او يمجسانه
"Dari Abi Hurairah ra, bahwa Nabi saw bersabda: setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka orang tualah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi".
Konteks
hadis tersebut relevan dengan QS. al-Rum (30): 30 sebagaimana dikutip terdahulu
bahwa yang merupakan hakekat fitrah keimanan sebagai petunjuk bagi orang tua
agar lebih eksis mengarahkan fitrah yang dimiliki oleh anak secara bijaksana di
bawah sejak lahir. Di samping itu, ayat dan hadis Nabi saw tersebut mengandung
implikasi bahwa fitrah merupakan suatu pembawaan setiap manusia sejak lahir,
dan mengandung nilai-nilai religius dan keberlakuannya mutlak. Di dalam fitrah
mengandung pengertian baik-buruk, benar-salah, indah-jelek dan seterusnya.
Dalam aliran
pendidikan misalnya nativisme, memandang pembawaan tidak dapat dirubah oleh
lingkungan, demikian pula sebaliknya dalam empirisme memandang bahwa lingkungan
dapat merubah pembawaan (bakat) anak sejak lahir, seterusnya konvergensi
memandang bahwa pembawaan (bakat) sebagai faktor internal dan lingkungan faktor
eksternal saling mempengaruhi. Kaitannya dengan ini, maka dalam perspektif
al-Qur’an ditegaskan bahwa fitrah adalah pembawaan keagamaan dan suatu saat
keagamaan seseorang dipengaruhi oleh lingkungan. Artinya bahwa fitrah tidak
dapat berkembang tanpa adanya pengaruh positif dari lingkungannya yang mungkin
dapat dimodifikasi atau dapat diubah secara drastis bila lingkungan itu tidak
memungkinkan untuk menjadi fitrah itu lebih baik.
Jadi,
faktor-faktor yang bergabung dengan fitrah dan sifat dasarnya bergantung pada
sejauh mana interaksi dengan fitrah itu berperan. Pada sisi lain, tentu saja
fitrah yang dibawa oleh setiap manusia sejak kecil, pada perkembangannya nanti
akan mengalami tingkatan-tingkatan yang bervariasi, sesuai dinamika dan
faktor-faktor yang mempengaruhinya. Karena demikian halnya, maka hasil yang
diraih dari proses belajar dapat dilihat sejauh mana fitrah itu berperan.
Faktor
pertama yang mempengaruhi hasil belajar mengajar, jika merujuk pada teks hadis
terdahulu adalah lingkungan keluarga, sebagai unit pertama dan institusi
pertama anak dipelihara, dibesarkan dan dididik. Lingkungan keluarga di sini
memberikan peranan yang sangat berarti dalam proses keberhasilan anak dalam
pendidikan. Sebab di lingkungan inilah anak menerima sejumlah nilai dan norma
yang ditanamkan sejak awal kepadanya.
Pada masa
kecil, keimanan anak belum merupakan suatu keyakinan sebagai hasil pemikiran
yang obyektif, tetapi lebih merupakan bagian dari kehidupan alam perasaan yang
berhubungan erat dengan kebutuhan jiwanya akan kasih sayang, rasa aman dan
kenikmatan jasmaniah. Peribadatan anak pada masa ini masih merupakan tiruan dan
kebiasaan yang kurang dihayati.
Peniruan
sangat penting dalam kehidupan anak, mulai dari bahasa, mode, adat istiadat dan
sebagainya. Hampir semua kehidupan anak berpangkal pada proses peniruan.
Misalnya saja, apabila anak-anak itu melihat orang tuannya shalat, maka mereka
juga mencoba untuk mengikutinya. Maka dari itu, lingkungan keluarga (rumah
tangga) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat dan sikap
keberagamaan seseorang.
Sejalan
dengan kepentingan dan masa depan anak-anak, maka orang tua menyekolahkan
anak-anak mereka dan secara kelembagaan sekolah di sini sebagai faktor kedua
yang dapat memberikan pengaruh dalam membentuk tingkat keberagamaan. Namun
besar kecil pengaruh yang dimaksud sangat tergantung berbagai faktor yang dapat
memotivasi anak untuk memahami nilai-nilai agama. Hal ini disebabkan
perkembangan keagamaan anak, juga dimotivasi oleh perkembangan bakat dan
kepribadiannya.
Lingkungan
sekolah dalam kaitannya dengan pembentukan tingkat keberhasilan anak dalam
belajar, adalah sebagai lanjutan dari pendidikan lingkungan keluarga. Dalam
perspektif Islam, fungsi sekolah sebagai media realisasi pendidikan berdasarkan
tujuan pemikiran, aqidah dan syariah dalam upaya penghambaan diri terhadap
Allah dan mentauhidkan-Nya sehingga manusia terhindar dari penyimpangan
fitrahnya. Artinya, prilaku anak diarahkan agar tetap mempertahankan naluri
keagamaan dan tidak keluar dari bingkai norma-norma Islam.
Dalam upaya
pembentukan jadi diri peserta didik, maka pendidikan melalui sistem
persekolahan patut diberikan penekanan yang istimewa. Hal ini disebabkan oleh
pendidikan sekolah mempunyai program yang teratur, bertingkat dan mengikuti
syarat yang jelas dan ketat. Hal ini mendukung bagi penyusunan program
pendidikan Islam yang lebih akomodatif.
Di samping
lingkungan rumah tangga dan sekolah, maka lingkungan masyarakat merupakan
faktor ketiga yang memengaruhi tingkat keberhasilan pendidikan. Dalam pandangan
Hadari Nawawi, pada tahap yang lebih tinggi dan komplek di masyarakat terdapat
konsep-konsep berpikir yang disebut ideologi, yang membuat manusia
berkelompok-kelompok dengan menjadikan ideologinya sebagai falsafah dan
pandangan hidup kelompok masing-masing. Di antara ideologi-ideologi itu ada
yang bersumber dari agama. Sekiranya idelogi agama ini direalisasikan dalam
kehidupan sehari-hari, maka sikap dan prilaku keberagamaan seseorang akan
semakin mantap dan kokoh.
Kesadaran
akan pentingnya sikap atau prilaku keberagamaan dalam kehidupan masyarakat,
memberikan peluang yang sangat besar kepada dunia pendidikan untuk
merealisasikannya. Ini berarti kesempatan emas bagi umat Islam untuk menjadikan
pendidikan sebagai pilihan strategis bagi pemeliharaan, penanaman dan
penyebaran nilai Islam. Konsekuensinya, diperlukan upaya-upaya yang dinamis,
fleksibel dan serius dalam mengelola lembaga pendidikan formal di setiap
jenjang pendidikan, mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi, baik yang
berstatus negeri maupun swasta.
Berdasarkan
uraian di atas, maka dapat dirumuskan bahwa yang dimaksud teori belajar dan
mengajar menurut petunjuk Al-Qur’an adalah aturan dalam proses kegiatan belajar
dan mengajar berdasarkan dalil-dalil yang mengacu pada interpretasi ayat-ayat
Al-Qur’an. Antara lain dalil-dalil yang berkenaan dengan ini adalah QS. al-Alaq
(96): 1-5 yang berbicara tentang perintah belajar dan mengajar; QS. al-Nahl
(16): 78 yang berbicara tentang komponen pada diri manusia yang harus
difungsikan dalam kegiatan belajar dan mengajar; QS. Luqmān (31): 17-19 yang
berbicara tentang pemantapan aqidah dan akhlak dalam kegiatan belajar dan
mengajar; QS. al-Nahl (16): 125 dan selainnya tentang kewajiban belajar dan mengajar
serta metode-metode yang digunakan.
Keberhasilan
teori belajar mengajar jika dikaitkan dengan aliran-aliran dalam pendidikan,
diketahui beberapa rumusan yang berbeda antara aliran yang satu dengan aliran
lainnya. Menurut aliran nativisme bahwa seorang peserta tidak dapat dipengaruhi
oleh lingkungan, sedangkan menurut aliran empirisme bahwa justru lingkungan
yang memengaruhi peserta didik tersebut. Selanjutnya menurut aliran konvergensi
bahwa antara lingkungan dan bakat pada peserta didik yang terbawa sejak lahir
saling memengaruhi.
Al-Qur’an
sebagai acuan dasar pendidikan Islam dalam menerangkan teori belajar mengajar
telah memberikan konsep terhadap pemikiran yang terdapat aliran nativisme,
empirisme dan konvergensi. Dalam hal ini, al-Qur’an menegaskan bahwa pembawaan
seorang anak (peserta didik) sejah lahirnya disebut fitrah, dan fitrah ini
adalah dasar keagamaan yang dimiliki oleh setiap orang. Fitrah menurut
al-Qur’an di samping dapat menerima pengaruh dari dalam (keturunan) juga dapat
menerima pengaruh dari luar (lingkungan). Untuk mengembankan fitrah ini, maka
sangat pendidikan kedudukan pendidikan di lingkungan keluarga, sekolah, dan
masyarakat.
4.
Analisis dan
Kesimpulan
Setiap manusia dilahirkan
dalam keadaan fitrah, ini berarti secara fisiknya manusia saat lahir semua
dalam keadaan sama-sama lemah, namun bukan berarti ia bagaikan kertas putih
atau kosong seperti yang dikatakan John lock[1] atau tak berdaya seperti pandangannya
jabariyah[2]
ia
memiliki potensi yang berupa kecenderungan-kecenderungan tertentu yang
menyangkut daya nalar, mental maupun Psikisnya yang setiap mereka berbeda-beda
jenis dan tingkatannya. Pada hadits yang lain disebutkan pula bahwa setiap anak
dilahirkan telah beragama dalam haditsnyayang artinya :
“…setiap manusia dilahirkan
dalam keadaan telah memeluk suatu agama, kedua orang tuanyalah yang menjadikan
ia Yahudi, Nashrani atau Musyrik…” [3]
Dari sini telah muncul
berbagai penelitian yang menghasilkan suatu hipotesa bahwa pada diri manusia
sejak awal penciptaanya telah memiliki berbagai
macam potensi termasuk potensi beragama yang sangat berpengaruh pada
perkembangan fisik maupun psikisnya. dan pada perkembangan berikutnya senantiasa
dipengaruhi berbagai faktor, baik internal maupun eksternal.[4]
Bila kita lihat pada
beberapa ayat al-Qur’an, Hadits maupun keterangan para ulama maupun para
mufassir hampir semuanya memperkuatkan adanya fitrah yang telah dibawa sejak
lahir, hanya saja eksistensi fitrah ini akan lain ketika lahir dan berkembang
hingga dewasa. Sehingga bisa dikatakan manusia itu telah lupa, melenceng atau
hilang dari fitrahnya, dikarenakan berbagai sebab, yang nanti akan kita jumpai
di berbagai ayat al-Qur’an yang menerangkan bahwa manusia menurut fitrahnya
sebagai makhluk yang mengakui Allah sebagai Tuhan, kemudian diterangkan
sebab-sebab kerasnya, lemah, sakit, melencengnya dari al-Fitrah. Kemudian ada
solusi tawaran upaya cara menyelamatkan dan mengembangkan al-Fitrah sehingga
manusia itu menjadi Kaffah, bisa dilakukan oleh orang itu sendiri maupun atas
pengaruh orang lain.
Di samping potensi
beragama manusia juga memiliki Potensi-potensi yang lain sangat beragam dan
berbeda-beda tingkatannya dan turut berpengaruh bagi perkembangan fisik, psikis
dan fitrah keagamaannya. Pertama, konsep al-fitrah, yang semula diyakini
sebagai kesucian jiwa dari dosa, maka dalam penelitian ini al-fitrah bermakna
sebagai potensi beragama bawaan sejak lahir, potensi ini juga memiliki
keragaman konotasi, yakni meliputi potensi
mengakui Allah sebagai
Tuhan, potensi mengakui islam sebagai agamanya, potensi
menikah, potensi
menutup aurat dan lain-lain.
Kedua, faktor penyebab
rusaknya fitrah manusia. Yaitu meliputi faktor intern dan ekstern. Faktor
intern yakni faktor kelemahan yang ada pada fisik seseorang, seperti lemahnya
kecerdasan, pendengaran, penglihatan, cacat tubuh dan lain-lain. Kelemahan ini
jika tidak ada bimbingan dan binaan yang positif akan cenderung mudah
memalingkan manusia itu dari fitrahnya. Sedangkan faktor ekstern yakni di mulai
dari keluarga dan masyarakat yang meninggalkan ajaran agamanya serta
mempertontonkan praktek-praktek kedhaliman, kemaksiatan dan lain-lain. Di samping
itu faktor pendidikan juga turut berpengaruh bagi kerusakan fitrah, seperti
faktor kurikulum yang
kurang menekankan pada aspek tauhid dan keagamaan di saat
anak pada masa
rentannya. Juga faktor guru yang tidak seiman dan seagama, metode
mengajarnya yang kurang
menyentuh jiwa anak, maka hal semacam ini akan mudah
memalingkan manusia itu
dari fitrahnya.
Ketiga, cara-cara
mengembangkan potensi manusia menurut al-Qur’an,
cara ini dapat
dikembangkan menjadi ilmu didaktik yang dapat diterapkan di dunia
pendidikan. Diantaranya
metode tutorial seperti pengajaran Allah tentang namanama
kepada Adam a.s
(QS.al-Baqarah/2: 29-39), metode penyampaian larangan seperti pada tahap-tahap
pengharaman Khamr dan lain-lain.
[1] Lihat, linda L.
Davidoff, Introducction To Psychology, psikologi suatu Pengantar, (terj.) Mari
Juniati,
(Jakarta: Erlangga, 1996), hal. 67.
[2] Jabariyah merupakan salah satu aliran teologi islam yang
dibentuk oleh Jahm bin Sofwan, menurut faham ini bahwa manusia tidak mempunyai
kemerdekaan dalam segala tingkah lakunya, menurutnya dalam segala tingkah
lakunya adalah paksaan dari Tuhan, faham ini juga disebut paham Predistination atau
fatalism, lihat, Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI-Press, 1998), hal.
31-34.
[3] Lihat, Sunan Imam At-Tirmidzi, dalam kitab al-Qadr, hadits.
2064. Lihat pula, Musnad Ahmad,
kitab Baqiy
Musnad al-Mukatsiriin, Hadits. 9851
[4] Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri siswa seperti
kematangan atau perkembangan
kecerdasan (IQ)
serta motivasi belajar. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang datang dari
luar siswa seperti keluarga, guru dan cara mengajarnya, alat yang dipergunakan
dalam proses PBM, lingkungan serta kesempatan yang tersedia. Lihat, Ngalim
Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Bina Aksara, 1999), hal. 102.
Daftar Pustaka :
Ahmad, Mudhor. Manusia dan Kebenaran. Surabaya: Usaha Nasional, 1989
Al-Ashfahani, al-Raghib. Mufradat Alfadz al-Qur’an. Beirut: Dar al-Syamiyah, 1992
Al-Qusyairi al-Naisaburi, Imam Ibn Husain Muslim bin Hajjaj Ibn Muslim. al-Jami Shahih, Juz VIII. Beirut: Dar al-Ma’arif,
Nawawi, H. Hadari. Pendidikan dalam Islam. Surabaya: Al-Ikhlas, 1993.
Suryabrata, Sumadi. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Rake Press, 1984