Total Tayangan Halaman

Senin, 24 September 2012

PENGEMBANGAN FITRAH PERSPEKTIF AL QUR’AN DAN HADITS




1.      Pengertian Fitrah
 
Secara bahasa, fitrah (fithrah) berasal dari kata fathara–yafthuru–fathr[an] wa futhr[an] wa fithrat[an] yang berarti pecah, belah, berbuka, mencipta. Al-fathr artinya pecah atau belah. Dari makna ini, diambil pengertian Fithru as-Shâ’im (berbukanya orang berpuasa), karena ia membuka mulutnya. Tanggal 1 Syawal disebut Idul Fitri, yakni Hari Raya Berbuka. Fathara an-Nâqah, mashdar-nya, al-fathr berarti memerah susu onta dengan ibu jari dan telunjuk kedua tangan; sedangkan al-futhr artinya susunya sedikit ketika diperah, (Kamus Lisân al-‘Arab, 5/55-59).
Sedangkan kata fathara Allâh artinya Allah mencipta. Jadi, al-fithr artinya ciptaan. Menurut orang-orang Arab asli, fathara artinya memulai atau mencipta dan mengkreasi. Hal ini seperti yang dituturkan ar-Razi (Mukhtâr as-Shihâh, 1/212) dari Ibn ‘Abbas ra. yang berkata, “Aku tidak tahu apa arti Fâthir as-Samawât hingga datang kepadaku dua orang Arab Baduwi yang sedang berselisih mengenai sumur. Salah seorang dari mereka berkata, 'Fathartuhâ,' yakni ibtadâ’tuhâ (Aku yang memulai/membuatnya)."
Dalam al-Quran, kata fathara (mencipta) terdapat dalam surat al-An‘am: 67; ar-Rum: 30; al-Isra’: 51; Thaha: 72; Hud: 51; Yasin: 22; aL-Anbiya’: 56; dan az-Zukhruf: 27. Kata fâthir (pencipta) terdapat dalam Yusuf: 101; Fathir: 1; Ibrahim: 10; asy-Syuara: 11; al-An’am: 14. Kata futhûr (sesuatu yang tidak seimbang) terdapat dalam surat al-Mulk: 3. Kata yatafaththar-na (pecah atau belah) terdapat dalam surat Maryam: 90 dan asy-Syura: 5. Kata infatharat (terbelah/terpecah) terdapat dalam surat al-Infithâr: 1. Kata munfathir (menjadi pecah-belah) terdapat dalam surat al-Muzammil: 18.
Kata fitrah sendiri diungkapkan Allah hanya dalam satu ayat. Allah Swt. berfirman:

"Hadapkanlah wajahmu dengan lurus pada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui". (QS ar-Rum[30]:30).

Ayat ini oleh para ulama dikaitkan dengan firman Allah:
"Ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), "Bukankah Aku ini Tuhan kalian?" Mereka menjawab, "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami melakukan yang demikian itu) agar pada Hari Kiamat kalian tidak mengatakan, "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)." (QS al-A'raf [7]: 172).
Kedua ayat tersebut selanjutnya sering dikaitkan tafsirnya dengan hadis yang dituturkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasul saw. bersabda:


كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِه

Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah. Ibu-bapaknyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Ahmad, Malik).

At-Thabari dan Ibn al-Mundzir menjelaskan, dengan mengutip pendapat Mujahid, bahwa fitrah yang dimaksud adalah agama (dîn) Islam. Ini juga makna yang dipegang oleh Abu Hurairah dan Ibn Syihab. Maknanya bahwa seorang anak dilahirkan dalam keadaan selamat dari kekufuran. Itulah janji setiap jiwa kepada Allah tatkala masih dalam kandungan, sebagaimana diisyaratkan dalam surat al-A'raf ayat 172.

Makna fitrah yang tepat adalah seperti yang disampaikan oleh Ibn Abd al-Bar dan Ibn ‘Athiyah, yaitu karakter ciptaan dan kesiapan yang ada pada diri anak ketika dilahirkan, yang menyediakan atau menyiapkannya untuk mengidentifikasi ciptaan-ciptaan Allah dan menjadikannya dalil pengakuan terhadap Rabb-nya, mengetahui syariatnya, dan mengimani-Nya.  

Abu al-‘Abbas menyatakan bahwa Allah Swt. menciptakan hati anak Adam siap untuk menerima kebenaran seperti menciptakan mata siap untuk melihat dan telinga siap untuk mendengar. Hanya saja, faktor-faktor berupa bisikan setan jin maupun setan manusia serta hawa nafsu bisa meggelincirkannya dari kebenaran. Jadi, ibu-bapaknya dalam hadis di atas merupakan permisalan dari bisikan setan yang menjadikannya seorang kafir atau musyrik.
 
Ibn al-Atsir mengomentari hadits di atas: Fitrah adalah ciptaan atau kreasi. Fitrah di antaranya adalah kondisi seperti berdiri atau duduk. Hadits tersebut bermakna bahwa setiap insan dilahirkan di atas suatu jenis dari jibillah (ciptaan) dan tabiat yang siap-sedia untuk menerima agama. Hal senada diungkapkan oleh Zamakhsyari. (Al-Fâ’iq, 3/128).
Berdasarkan nash-nash di atas, maka makna fitrah adalah karakteristik ciptaan, yaitu karakteristik bawaan yang melekat dalam diri setiap manusia sejak dilahirkan.
Jika kita analisis, karakteristik bawaan itu tidak lain adalah potensi kehidupan manusia berupa hajât al-‘udhâwiyah (kebutuhan untuk tetap hidup) dan gharâ’iz—jamak dari gharîzah—(naluri/insting). Tabiat yang berupa kesiapan menerima agama dan kelurusan itu tidak lain adalah gharîzah at-tadayyun (naluri beragama). Jadi, kesaksian dalam surat al-A'raf tersebut adalah kesaksian naluriah/instingtif (syahâdah ghâriziyyah atau syahâdah fithriyyah) dan bukan kesaksian imani (syahâdah îmâniyyah). Kesaksian itu tidak akan bisa dilupakan oleh manusia karena melekat dalam dirinya dan tidak akan hilang sampai kematiannya dan sampai generasi manusia yang terakhir. Itulah yang ditegaskan Allah dalam al-A'raf ayat 172-173.
2.      Teori Tabularasa
Teori Tabularasa (John Locke dan Francis Bacon). Teori ini mengatakan bahwa anak yang baru dilahirkan itu dapat diumpamakan sebagai kertas putih yang belum ditulisi (a sheet ot white paper avoid of all characters). Jadi, sejak lahir anak itu tidak mempunyai bakat dan pembawaan apa-apa. Anak dapat dibentuk sekehendak pendidiknya. Di sini kekuatan ada pada pendidik. Pendidikan dan lingkungan berkuasa atas pembentukan anak.
Pendapat John Locke seperti di atas dapat disebut juga empirisme, yaitu suatu aliran atau paham yang berpendapat bahwa segala kecakapan dan pengetahuan manusia itu timbul dari pengalaman (empiri) yang masuk melalui alat indera.
Kaum behavioris juga berpendapat senada dengan teori tabularasa itu. Behaviorisme tidak mengakui adanya pembawaan dan keturunan, atau sifat-sifat yang turun-temurun. Semua Pendidikan, menurut behaviorisme, adalah pembentukan kebiasaan, yaitu menurut kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di dalam lingkungan seorang anak.

3.      Fitrah dan Pengembangannya menurut Al Qur’an dan Hadits
Al-Qur'an merupakan firman Allah yang selanjutnya dijadikan pedoman hidup (way of life) kaum muslim yang tidak ada lagi keraguan di dalamnya. Di dalamnya terkandung ajaran-ajaran pokok (prinsip dasar) menyangkut segala aspek kehidupan manusia yang selanjutnya dapat dikembangkan sesuai dengan nalar masing-masing bangsa dan kapanpun masanya dan hadir secara fungsional memecahkan problem kemanusiaan. Salah satu permasalah yang tidak sepi dari perbincangan umat adalah masalah pendidikan.
Dalam al-Qur'an sendiri telah memberi isyarat bahwa permasalahan pendidikan sangat penting, jika al-Qur'an dikaji lebih mendalam maka kita akan menemukan beberapa prinsip dasar pendidikan, yang selanjutnya bisa kita jadikan inspirasi untuk dikembangkan dalam rangka membangun pendidikan yang bermutu. Ada beberapa indikasi yang terdapat dalam al-Qur'an yang berkaitan dengan pendidikan antara lain; Menghormati akal manusia, bimbingan ilmiah, fitrah manusia, penggunaan cerita (kisah).
Setiap manusia dapat memperoleh pendidikan dan hasil belajar yang baik sesuai dengan petunjuk agama. Dalam hal ini, agama Islam dengan al-Qur’an sebagai sumber utamanya menuntut penganutnya untuk memperdalam ilmu pengetahuannya, sesuai dengan tabiat agama. Ini berarti bahwa teori-teori aliran kependidikan yakni nativisme, empirisme, dan kovergensi bukan menjadi acuan konsep pendidikan al-Qur’an. Namun al-Qur’an lah yang memberikan konsep terhadap aliran-aliran pendidikan tersebut.
Menurut al-Qur’an, manusia pada tabiatnya adalah homo religious (makhluk beragama) yang sejak lahirnya telah membawa suatu kecenderungan beragama.

Dalam hal ini, pada QS. al-Rum (30): 30 Allah berfirman :
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah di atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui".
Term  فطرت الله  (fitrah Allah) dalam ayat di atas, mengandung interpretasi bahwa manusia diciptakan oleh Allah mempunyai naluri beragama, yaitu agama tauhid. Potensi fitrah Allah pada diri manusia ini menyebabkannya selalu mencari realitas mutlak, dengan cara mengekspresikannya dalam bentuk sikap, cara berpikir dan bertingkah laku. Karena sikap ini manusia disebut juga sebagai homo educandum (makhluk yang dapat didik) dan homo education (makhluk pendidik), karena pendidikan baginya adalah suatu keharusan guna mewujudkan kualitas dan integritas kepribadian yang utuh.
Posisi manusia sebagai homo religious dan homo educandum serta homo education sebagaimana disebutkan di atas, mengindikasikan bahwa sikap kegiatan belajar bagi setiap manusia dapat diarahkan melalui proses pendidikan dengan memandang fitrah sebagai obyek yang harus dikembangkan dan disempurnakan, dengan cara membimbing dan mengasuhnya agar dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran keagamaan (Islam) secara universal. Dalam hal ini, al-Qur’an maupun hadis meskipun tidak secara eksplisit membicarakan tentang konsep dasar keberagamaan yang dimaksud, tetapi secara implisit dari konteks ayat maupun hadis terdapat petunjuk yang mengarah tentang pendidikan keberagamaan. Misalnya saja, dalam QS. al-Tahrim (66) : 6 Allah berfirman:
ياأيها الذين آمنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا
"Hai orang-orang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari neraka…"
Muatan ayat tersebut sebagai motivasi bagi setiap orang tua (khusus-nya orang-orang beriman) untuk selalu mengawasi anak-anak mereka dalam aspek pendidikan, karena anak-anak atau keluarga merupakan sebagai bagian terpenting dari struktur rumah tangga. Dengan kata lain, orang tua hendaknya tidak mengabaikan kewajiban edukatifnya, yakni memelihara, membimbing dan mendidik anak-anaknya menjadi anggota keluarga yang senang pada kebaikan dan menjauhi kemaksiatan.
Secara jelas perintah tersebut mengarah pada aspek pembinaan mental keberagamaan anak dalam rangka mewujudkan suasana keluarga sakinah yang selalu taat menjalani fungsinya dengan baik. Wadah inilah sebagai penentu keberagamaan anak di masa depan. Kaitannya dengan Nabi saw bersabda dalam satu hadisnya:
عن ابي هريرة رضي الله عنه قال : قال النبي صلى الله عليه وسلم : كل مولد يولد على الفطرة فابواه يهودانه او ينصرانه او يمجسانه

"Dari Abi Hurairah ra, bahwa Nabi saw bersabda: setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka orang tualah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi".
Konteks hadis tersebut relevan dengan QS. al-Rum (30): 30 sebagaimana dikutip terdahulu bahwa yang merupakan hakekat fitrah keimanan sebagai petunjuk bagi orang tua agar lebih eksis mengarahkan fitrah yang dimiliki oleh anak secara bijaksana di bawah sejak lahir. Di samping itu, ayat dan hadis Nabi saw tersebut mengandung implikasi bahwa fitrah merupakan suatu pembawaan setiap manusia sejak lahir, dan mengandung nilai-nilai religius dan keberlakuannya mutlak. Di dalam fitrah mengandung pengertian baik-buruk, benar-salah, indah-jelek dan seterusnya.
Dalam aliran pendidikan misalnya nativisme, memandang pembawaan tidak dapat dirubah oleh lingkungan, demikian pula sebaliknya dalam empirisme memandang bahwa lingkungan dapat merubah pembawaan (bakat) anak sejak lahir, seterusnya konvergensi memandang bahwa pembawaan (bakat) sebagai faktor internal dan lingkungan faktor eksternal saling mempengaruhi. Kaitannya dengan ini, maka dalam perspektif al-Qur’an ditegaskan bahwa fitrah adalah pembawaan keagamaan dan suatu saat keagamaan seseorang dipengaruhi oleh lingkungan. Artinya bahwa fitrah tidak dapat berkembang tanpa adanya pengaruh positif dari lingkungannya yang mungkin dapat dimodifikasi atau dapat diubah secara drastis bila lingkungan itu tidak memungkinkan untuk menjadi fitrah itu lebih baik.
Jadi, faktor-faktor yang bergabung dengan fitrah dan sifat dasarnya bergantung pada sejauh mana interaksi dengan fitrah itu berperan. Pada sisi lain, tentu saja fitrah yang dibawa oleh setiap manusia sejak kecil, pada perkembangannya nanti akan mengalami tingkatan-tingkatan yang bervariasi, sesuai dinamika dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Karena demikian halnya, maka hasil yang diraih dari proses belajar dapat dilihat sejauh mana fitrah itu berperan.
Faktor pertama yang mempengaruhi hasil belajar mengajar, jika merujuk pada teks hadis terdahulu adalah lingkungan keluarga, sebagai unit pertama dan institusi pertama anak dipelihara, dibesarkan dan dididik. Lingkungan keluarga di sini memberikan peranan yang sangat berarti dalam proses keberhasilan anak dalam pendidikan. Sebab di lingkungan inilah anak menerima sejumlah nilai dan norma yang ditanamkan sejak awal kepadanya.
Pada masa kecil, keimanan anak belum merupakan suatu keyakinan sebagai hasil pemikiran yang obyektif, tetapi lebih merupakan bagian dari kehidupan alam perasaan yang berhubungan erat dengan kebutuhan jiwanya akan kasih sayang, rasa aman dan kenikmatan jasmaniah. Peribadatan anak pada masa ini masih merupakan tiruan dan kebiasaan yang kurang dihayati.
Peniruan sangat penting dalam kehidupan anak, mulai dari bahasa, mode, adat istiadat dan sebagainya. Hampir semua kehidupan anak berpangkal pada proses peniruan. Misalnya saja, apabila anak-anak itu melihat orang tuannya shalat, maka mereka juga mencoba untuk mengikutinya. Maka dari itu, lingkungan keluarga (rumah tangga) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat dan sikap keberagamaan seseorang.
Sejalan dengan kepentingan dan masa depan anak-anak, maka orang tua menyekolahkan anak-anak mereka dan secara kelembagaan sekolah di sini sebagai faktor kedua yang dapat memberikan pengaruh dalam membentuk tingkat keberagamaan. Namun besar kecil pengaruh yang dimaksud sangat tergantung berbagai faktor yang dapat memotivasi anak untuk memahami nilai-nilai agama. Hal ini disebabkan perkembangan keagamaan anak, juga dimotivasi oleh perkembangan bakat dan kepribadiannya.
Lingkungan sekolah dalam kaitannya dengan pembentukan tingkat keberhasilan anak dalam belajar, adalah sebagai lanjutan dari pendidikan lingkungan keluarga. Dalam perspektif Islam, fungsi sekolah sebagai media realisasi pendidikan berdasarkan tujuan pemikiran, aqidah dan syariah dalam upaya penghambaan diri terhadap Allah dan mentauhidkan-Nya sehingga manusia terhindar dari penyimpangan fitrahnya. Artinya, prilaku anak diarahkan agar tetap mempertahankan naluri keagamaan dan tidak keluar dari bingkai norma-norma Islam.
Dalam upaya pembentukan jadi diri peserta didik, maka pendidikan melalui sistem persekolahan patut diberikan penekanan yang istimewa. Hal ini disebabkan oleh pendidikan sekolah mempunyai program yang teratur, bertingkat dan mengikuti syarat yang jelas dan ketat. Hal ini mendukung bagi penyusunan program pendidikan Islam yang lebih akomodatif.
Di samping lingkungan rumah tangga dan sekolah, maka lingkungan masyarakat merupakan faktor ketiga yang memengaruhi tingkat keberhasilan pendidikan. Dalam pandangan Hadari Nawawi, pada tahap yang lebih tinggi dan komplek di masyarakat terdapat konsep-konsep berpikir yang disebut ideologi, yang membuat manusia berkelompok-kelompok dengan menjadikan ideologinya sebagai falsafah dan pandangan hidup kelompok masing-masing. Di antara ideologi-ideologi itu ada yang bersumber dari agama. Sekiranya idelogi agama ini direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari, maka sikap dan prilaku keberagamaan seseorang akan semakin mantap dan kokoh.
Kesadaran akan pentingnya sikap atau prilaku keberagamaan dalam kehidupan masyarakat, memberikan peluang yang sangat besar kepada dunia pendidikan untuk merealisasikannya. Ini berarti kesempatan emas bagi umat Islam untuk menjadikan pendidikan sebagai pilihan strategis bagi pemeliharaan, penanaman dan penyebaran nilai Islam. Konsekuensinya, diperlukan upaya-upaya yang dinamis, fleksibel dan serius dalam mengelola lembaga pendidikan formal di setiap jenjang pendidikan, mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi, baik yang berstatus negeri maupun swasta.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan bahwa yang dimaksud teori belajar dan mengajar menurut petunjuk Al-Qur’an adalah aturan dalam proses kegiatan belajar dan mengajar berdasarkan dalil-dalil yang mengacu pada interpretasi ayat-ayat Al-Qur’an. Antara lain dalil-dalil yang berkenaan dengan ini adalah QS. al-Alaq (96): 1-5 yang berbicara tentang perintah belajar dan mengajar; QS. al-Nahl (16): 78 yang berbicara tentang komponen pada diri manusia yang harus difungsikan dalam kegiatan belajar dan mengajar; QS. Luqmān (31): 17-19 yang berbicara tentang pemantapan aqidah dan akhlak dalam kegiatan belajar dan mengajar; QS. al-Nahl (16): 125 dan selainnya tentang kewajiban belajar dan mengajar serta metode-metode yang digunakan.
Keberhasilan teori belajar mengajar jika dikaitkan dengan aliran-aliran dalam pendidikan, diketahui beberapa rumusan yang berbeda antara aliran yang satu dengan aliran lainnya. Menurut aliran nativisme bahwa seorang peserta tidak dapat dipengaruhi oleh lingkungan, sedangkan menurut aliran empirisme bahwa justru lingkungan yang memengaruhi peserta didik tersebut. Selanjutnya menurut aliran konvergensi bahwa antara lingkungan dan bakat pada peserta didik yang terbawa sejak lahir saling memengaruhi.
Al-Qur’an sebagai acuan dasar pendidikan Islam dalam menerangkan teori belajar mengajar telah memberikan konsep terhadap pemikiran yang terdapat aliran nativisme, empirisme dan konvergensi. Dalam hal ini, al-Qur’an menegaskan bahwa pembawaan seorang anak (peserta didik) sejah lahirnya disebut fitrah, dan fitrah ini adalah dasar keagamaan yang dimiliki oleh setiap orang. Fitrah menurut al-Qur’an di samping dapat menerima pengaruh dari dalam (keturunan) juga dapat menerima pengaruh dari luar (lingkungan). Untuk mengembankan fitrah ini, maka sangat pendidikan kedudukan pendidikan di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.

4.      Analisis dan Kesimpulan
Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, ini berarti secara fisiknya manusia saat lahir semua dalam keadaan sama-sama lemah, namun bukan berarti ia bagaikan kertas putih atau kosong seperti yang dikatakan John lock[1]  atau tak berdaya seperti pandangannya jabariyah[2] ia memiliki potensi yang berupa kecenderungan-kecenderungan tertentu yang menyangkut daya nalar, mental maupun Psikisnya yang setiap mereka berbeda-beda jenis dan tingkatannya. Pada hadits yang lain disebutkan pula bahwa setiap anak dilahirkan telah beragama dalam haditsnyayang artinya :
“…setiap manusia dilahirkan dalam keadaan telah memeluk suatu agama, kedua orang tuanyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nashrani atau Musyrik…” [3]

Dari sini telah muncul berbagai penelitian yang menghasilkan suatu hipotesa bahwa pada diri manusia sejak awal penciptaanya telah memiliki  berbagai macam potensi termasuk potensi beragama yang sangat berpengaruh pada perkembangan fisik maupun psikisnya. dan pada perkembangan berikutnya senantiasa dipengaruhi berbagai faktor, baik internal maupun eksternal.[4]
Bila kita lihat pada beberapa ayat al-Qur’an, Hadits maupun keterangan para ulama maupun para mufassir hampir semuanya memperkuatkan adanya fitrah yang telah dibawa sejak lahir, hanya saja eksistensi fitrah ini akan lain ketika lahir dan berkembang hingga dewasa. Sehingga bisa dikatakan manusia itu telah lupa, melenceng atau hilang dari fitrahnya, dikarenakan berbagai sebab, yang nanti akan kita jumpai di berbagai ayat al-Qur’an yang menerangkan bahwa manusia menurut fitrahnya sebagai makhluk yang mengakui Allah sebagai Tuhan, kemudian diterangkan sebab-sebab kerasnya, lemah, sakit, melencengnya dari al-Fitrah. Kemudian ada solusi tawaran upaya cara menyelamatkan dan mengembangkan al-Fitrah sehingga manusia itu menjadi Kaffah, bisa dilakukan oleh orang itu sendiri maupun atas pengaruh orang lain.
Di samping potensi beragama manusia juga memiliki Potensi-potensi yang lain sangat beragam dan berbeda-beda tingkatannya dan turut berpengaruh bagi perkembangan fisik, psikis dan fitrah keagamaannya. Pertama, konsep al-fitrah, yang semula diyakini sebagai kesucian jiwa dari dosa, maka dalam penelitian ini al-fitrah bermakna sebagai potensi beragama bawaan sejak lahir, potensi ini juga memiliki keragaman konotasi, yakni meliputi potensi
mengakui Allah sebagai Tuhan, potensi mengakui islam sebagai agamanya, potensi
menikah, potensi menutup aurat dan lain-lain.
Kedua, faktor penyebab rusaknya fitrah manusia. Yaitu meliputi faktor intern dan ekstern. Faktor intern yakni faktor kelemahan yang ada pada fisik seseorang, seperti lemahnya kecerdasan, pendengaran, penglihatan, cacat tubuh dan lain-lain. Kelemahan ini jika tidak ada bimbingan dan binaan yang positif akan cenderung mudah memalingkan manusia itu dari fitrahnya. Sedangkan faktor ekstern yakni di mulai dari keluarga dan masyarakat yang meninggalkan ajaran agamanya serta mempertontonkan praktek-praktek kedhaliman, kemaksiatan dan lain-lain. Di samping itu faktor pendidikan juga turut berpengaruh bagi kerusakan fitrah, seperti
faktor kurikulum yang kurang menekankan pada aspek tauhid dan keagamaan di saat
anak pada masa rentannya. Juga faktor guru yang tidak seiman dan seagama, metode
mengajarnya yang kurang menyentuh jiwa anak, maka hal semacam ini akan mudah
memalingkan manusia itu dari fitrahnya.
Ketiga, cara-cara mengembangkan potensi manusia menurut al-Qur’an,
cara ini dapat dikembangkan menjadi ilmu didaktik yang dapat diterapkan di dunia
pendidikan. Diantaranya metode tutorial seperti pengajaran Allah tentang namanama
kepada Adam a.s (QS.al-Baqarah/2: 29-39), metode penyampaian larangan seperti pada tahap-tahap pengharaman Khamr dan lain-lain.











­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­[1] Lihat, linda L. Davidoff, Introducction To Psychology, psikologi suatu Pengantar, (terj.) Mari
Juniati, (Jakarta: Erlangga, 1996), hal. 67.

[2] Jabariyah merupakan salah satu aliran teologi islam yang dibentuk oleh Jahm bin Sofwan, menurut faham ini bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam segala tingkah lakunya, menurutnya dalam segala tingkah lakunya adalah paksaan dari Tuhan, faham ini juga disebut paham Predistination atau fatalism, lihat, Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI-Press, 1998), hal. 31-34.

[3] Lihat, Sunan Imam At-Tirmidzi, dalam kitab al-Qadr, hadits. 2064. Lihat pula, Musnad Ahmad,
kitab Baqiy Musnad al-Mukatsiriin, Hadits. 9851

[4] Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri siswa seperti kematangan atau perkembangan
kecerdasan (IQ) serta motivasi belajar. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang datang dari luar siswa seperti keluarga, guru dan cara mengajarnya, alat yang dipergunakan dalam proses PBM, lingkungan serta kesempatan yang tersedia. Lihat, Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Bina Aksara, 1999), hal. 102.



Daftar Pustaka :

Ahmad, Mudhor. Manusia dan Kebenaran. Surabaya: Usaha Nasional, 1989
Al-Ashfahani, al-Raghib. Mufradat Alfadz al-Qur’an. Beirut: Dar al-Syamiyah, 1992
Al-Qusyairi al-Naisaburi, Imam Ibn Husain Muslim bin Hajjaj Ibn Muslim. al-Jami Shahih, Juz VIII. Beirut: Dar al-Ma’arif,
Nawawi, H. Hadari. Pendidikan dalam Islam. Surabaya: Al-Ikhlas, 1993.
Suryabrata, Sumadi. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Rake Press, 1984

Selasa, 29 Mei 2012

PENGAJARAN SHOLAT

Ajarilah anak-anakmu dengan sholat. Karena sholat menjadi penentu di yaumil hisab nanti. "jika sholat seseorang itu baik, maka akan dianggap baik seluruh amal nya, namun jika sholatnya buruk maka akan dianggap buruklah semua amalnya", demikian kurang lebih mafhum sebuah hadits.
Dalam Al Qur'an juga disebut bahwa sholat itu dapat mencegah seseorang itu dari perbuatan keji dan mungkar.
اتل ما أوحي إليك من الكتاب وأقم الصلاة إن الصلاة تنهى عن الفحشاء والمنكر ولذكر الله أكبر والله يعلم ما تصنعون
"Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.Q.S Al Ankabut : 45

Jumat, 10 Februari 2012

Tahukah Anda: Islam Masuk ke Nusantara Saat Rasulullah SAW Masih Hidup

Islam masuk ke Nusantara dibawa para pedagang dari Gujarat, India, di abad ke 14 Masehi. Teori masuknya Islam ke Nusantara dari Gujarat ini disebut juga sebagai Teori Gujarat. Demikian menurut buku-buku sejarah yang sampai sekarang masih menjadi buku pegangan bagi para pelajar kita, dari tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas, bahkan di beberapa perguruan tinggi.

Namun, tahukah Anda bahwa Teori Gujarat ini berasal dari seorang orientalis asal Belanda yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk menghancurkan Islam?

Orientalis ini bernama Snouck Hurgronje, yang demi mencapai tujuannya, ia mempelajari bahasa Arab dengan sangat giat, mengaku sebagai seorang Muslim, dan bahkan mengawini seorang Muslimah, anak seorang tokoh di zamannya.

Menurut sejumlah pakar sejarah dan juga arkeolog, jauh sebelum Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, telah terjadi kontak dagang antara para pedagang Cina, Nusantara, dan Arab. Jalur perdagangan selatan ini sudah ramai saat itu.
Mengutip buku Gerilya Salib di Serambi Makkah (Rizki Ridyasmara, Pustaka Alkautsar, 2006) yang banyak memaparkan bukti-bukti sejarah soal masuknya Islam di Nusantara, Peter Bellwood, Reader in Archaeology di Australia National University, telah melakukan banyak penelitian arkeologis di Polynesia dan Asia Tenggara.

Bellwood menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebelum abad kelima masehi, yang berarti Nabi Muhammad SAW belum lahir, beberapa jalur perdagangan utama telah berkembang menghubungkan kepulauan Nusantara dengan Cina. Temuan beberapa tembikar Cina serta benda-benda perunggu dari zaman Dinasti Han dan zaman-zaman sesudahnya di selatan Sumatera dan di Jawa Timur membuktikan hal ini.

Dalam catatan kakinya Bellwood menulis, “Museum Nasional di Jakarta memiliki beberapa bejana keramik dari beberapa situs di Sumatera Utara. Selain itu, banyak barang perunggu Cina, yang beberapa di antaranya mungkin bertarikh akhir masa Dinasti Zhou (sebelum 221 SM), berada dalam koleksi pribadi di London. Benda-benda ini dilaporkan berasal dari kuburan di Lumajang, Jawa Timur, yang sudah sering dijarah…” Bellwood dengan ini hendak menyatakan bahwa sebelum tahun 221 SM, para pedagang pribumi diketahui telah melakukan hubungan dagang dengan para pedagang dari Cina.

Masih menurutnya, perdagangan pada zaman itu di Nusantara dilakukan antar sesama pedagang, tanpa ikut campurnya kerajaan, jika yang dimaksudkan kerajaan adalah pemerintahan dengan raja dan memiliki wilayah yang luas. Sebab kerajaan Budha Sriwijaya yang berpusat di selatan Sumatera baru didirikan pada tahun 607 Masehi (Wolters 1967; Hall 1967, 1985). Tapi bisa saja terjadi, “kerajaan-kerajaan kecil” yang tersebar di beberapa pesisir pantai sudah berdiri, walau yang terakhir ini tidak dijumpai catatannya.

Di Jawa, masa sebelum masehi juga tidak ada catatan tertulisnya. Pangeran Aji Saka sendiri baru “diketahui” memulai sistem penulisan huruf Jawi kuno berdasarkan pada tipologi huruf Hindustan pada masa antara 0 sampai 100 Masehi. Dalam periode ini di Kalimantan telah berdiri Kerajaan Hindu Kutai dan Kerajaan Langasuka di Kedah, Malaya. Tarumanegara di Jawa Barat baru berdiri tahun 400-an Masehi. Di Sumatera, agama Budha baru menyebar pada tahun 425 Masehi dan mencapai kejayaan pada masa Kerajaan Sriwijaya.
Temuan G. R Tibbets
Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara—terutama Sumatera dan Jawa—dengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G. R. Tibbetts. Bahkan Tibbetts-lah orang yang dengan tekun meneliti hubungan perniagaan yang terjadi antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang dari wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts menemukan bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan Nusantara saat itu.

“Keadaan ini terjadi karena kepulauan Nusantara telah menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri Cina sejak abad kelima Masehi, ” tulis Tibbets. Jadi peta perdagangan saat itu terutama di selatan adalah Arab-Nusantara-China.

Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M—hanya berbeda 15 tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab—di sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya.

Di perkampungan-perkampungan ini, orang-orang Arab bermukim dan telah melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi dengan jalan menikahi perempuan-perempuan lokal secara damai. Mereka sudah beranak–pinak di sana. Dari perkampungan-perkampungan ini mulai didirikan tempat-tempat pengajian al-Qur’an dan pengajaran tentang Islam sebagai cikal bakal madrasah dan pesantren, umumnya juga merupakan tempat beribadah (masjid).

Temuan ini diperkuat Prof. Dr. HAMKA yang menyebut bahwa seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah menemukan satu kelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut telah mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air. HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika.
Pembalseman Firaun Ramses II Pakai Kapur Barus Dari Nusantara
Dari berbagai literatur, diyakini bahwa kampung Islam di daerah pesisir Barat Pulau Sumatera itu bernama Barus atau yang juga disebut Fansur. Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di antara kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer selatan Medan. Di zaman Sriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya. Namun ketika Sriwijaya mengalami kemunduran dan digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam, Barus pun masuk dalam wilayah Aceh.

Amat mungkin Barus merupakan kota tertua di Indonesia mengingat dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-sebut sejak awal Masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syiria, Armenia, China, dan sebagainya.

Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada abad ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus.

Bahkan dikisahkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi!

Berdasakan buku Nuchbatuddar karya Addimasqi, Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-7 Masehi. Sebuah makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi. Ini memperkuat dugaan bahwa komunitas Muslim di Barus sudah ada pada era itu.

Sebuah Tim Arkeolog yang berasal dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis yang bekerjasama dengan peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, telah menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya.

Tim tersebut menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur.

Di Barus dan sekitarnya, banyak pedagang Islam yang terdiri dari orang Arab, Aceh, dan sebagainya hidup dengan berkecukupan. Mereka memiliki kedudukan baik dan pengaruh cukup besar di dalam masyarakat maupun pemerintah (Kerajaan Budha Sriwijaya). Bahkan kemudian ada juga yang ikut berkuasa di sejumlah bandar. Mereka banyak yang bersahabat, juga berkeluarga dengan raja, adipati, atau pembesar-pembesar Sriwijaya lainnya. Mereka sering pula menjadi penasehat raja, adipati, atau penguasa setempat. Makin lama makin banyak pula penduduk setempat yang memeluk Islam. Bahkan ada pula raja, adipati, atau penguasa setempat yang akhirnya masuk Islam. Tentunya dengan jalan damai (Rz/eramuslim)

Sejarahwan T. W. Arnold dalam karyanya “The Preaching of Islam” (1968) juga menguatkan temuan bahwa agama Islam telah dibawa oleh mubaligh-mubaligh Islam asal jazirah Arab ke Nusantara sejak awal abad ke-7 M.

Setelah abad ke-7 M, Islam mulai berkembang di kawasan ini, misal, menurut laporan sejarah negeri Tiongkok bahwa pada tahun 977 M, seorang duta Islam bernama Pu Ali (Abu Ali) diketahui telah mengunjungi negeri Tiongkok mewakili sebuah negeri di Nusantara (F. Hirth dan W. W. Rockhill (terj), Chau Ju Kua, His Work On Chinese and Arab Trade in XII Centuries, St.Petersburg: Paragon Book, 1966, hal. 159).

Bukti lainnya, di daerah Leran, Gresik, Jawa Timur, sebuah batu nisan kepunyaan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun bertanggal tahun 1082 telah ditemukan. Penemuan ini membuktikan bahwa Islam telah merambah Jawa Timur di abad ke-11 M (S. Q. Fatini, Islam Comes to Malaysia, Singapura: M. S. R.I., 1963, hal. 39).

Dari bukti-bukti di atas, dapat dipastikan bahwa Islam telah masuk ke Nusantara pada masa Rasulullah masih hidup. Secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut: Rasululah menerima wahyu pertama di tahun 610 M, dua setengah tahun kemudian menerima wahyu kedua (kuartal pertama tahun 613 M), lalu tiga tahun lamanya berdakwah secara diam-diam—periode Arqam bin Abil Arqam (sampai sekitar kuartal pertama tahun 616 M), setelah itu baru melakukan dakwah secara terbuka dari Makkah ke seluruh Jazirah Arab.

Menurut literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera (Barus). Jadi hanya 9 tahun sejak Rasulullah SAW memproklamirkan dakwah Islam secara terbuka, di pesisir Sumatera sudah terdapat sebuah perkampungan Islam.

Selaras dengan zamannya, saat itu umat Islam belum memiliki mushaf Al-Qur’an, karena mushaf Al-Qur’an baru selesai dibukukan pada zaman Khalif Utsman bin Affan pada tahun 30 H atau 651 M. Naskah Qur’an pertama kali hanya dibuat tujuh buah yang kemudian oleh Khalif Utsman dikirim ke pusat-pusat kekuasaan kaum Muslimin yang dipandang penting yakni (1) Makkah, (2) Damaskus, (3) San’a di Yaman, (4) Bahrain, (5) Basrah, (6) Kuffah, dan (7) yang terakhir dipegang sendiri oleh Khalif Utsman.

Naskah Qur’an yang tujuh itu dibubuhi cap kekhalifahan dan menjadi dasar bagi semua pihak yang berkeinginan menulis ulang. Naskah-naskah tua dari zaman Khalifah Utsman bin Affan itu masih bisa dijumpai dan tersimpan pada berbagai museum dunia. Sebuah di antaranya tersimpan pada Museum di Tashkent, Asia Tengah.

Mengingat bekas-bekas darah pada lembaran-lembaran naskah tua itu maka pihak-pihak kepurbakalaan memastikan bahwa naskah Qur’an itu merupakan al-Mushaf yang tengah dibaca Khalif Utsman sewaktu mendadak kaum perusuh di Ibukota menyerbu gedung kediamannya dan membunuh sang Khalifah.

Perjanjian Versailes (Versailes Treaty), yaitu perjanjian damai yang diikat pihak Sekutu dengan Jerman pada akhir Perang Dunia I, di dalam pasal 246 mencantumkan sebuah ketentuan mengenai naskah tua peninggalan Khalifah Ustman bin Affan itu yang berbunyi: (246) Di dalam tempo enam bulan sesudah Perjanjian sekarang ini memperoleh kekuatannya, pihak Jerman menyerahkan kepada Yang Mulia Raja Hejaz naskah asli Al-Qur’an dari masa Khalif Utsman, yang diangkut dari Madinah oleh pembesar-pembesar Turki, dan menurut keterangan, telah dihadiahkan kepada bekas Kaisar William II (Joesoef Sou’yb, Sejarah Khulafaur Rasyidin, Bulan Bintang, cet. 1, 1979, hal. 390-391).

Sebab itu, cara berdoa dan beribadah lainnya pada saat itu diyakini berdasarkan ingatan para pedagang Arab Islam yang juga termasuk para al-Huffadz atau penghapal al-Qur’an.

Menengok catatan sejarah, pada seperempat abad ke-7 M, kerajaan Budha Sriwijaya tengah berkuasa atas Sumatera. Untuk bisa mendirikan sebuah perkampungan yang berbeda dari agama resmi kerajaan—perkampungan Arab Islam—tentu membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum diizinkan penguasa atau raja. Harus bersosialisasi dengan baik dulu kepada penguasa, hingga akrab dan dipercaya oleh kalangan kerajaan maupun rakyat sekitar, menambah populasi Muslim di wilayah yang sama yang berarti para pedagang Arab ini melakukan pembauran dengan jalan menikahi perempuan-perempuan pribumi dan memiliki anak, setelah semua syarat itu terpenuhi baru mereka—para pedagang Arab Islam ini—bisa mendirikan sebuah kampung di mana nilai-nilai Islam bisa hidup di bawah kekuasaan kerajaan Budha Sriwijaya.

Perjalanan dari Sumatera sampai ke Makkah pada abad itu, dengan mempergunakan kapal laut dan transit dulu di Tanjung Comorin, India, konon memakan waktu dua setengah sampai hampir tiga tahun. Jika tahun 625 dikurangi 2, 5 tahun, maka yang didapat adalah tahun 622 Masehi lebih enam bulan. Untuk melengkapi semua syarat mendirikan sebuah perkampungan Islam seperti yang telah disinggung di atas, setidaknya memerlukan waktu selama 5 hingga 10 tahun.

Jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya para pedagang Arab yang mula-mula membawa Islam masuk ke Nusantara adalah orang-orang Arab Islam generasi pertama para shahabat Rasulullah, segenerasi dengan Ali bin Abi Thalib r. A..

Kenyataan inilah yang membuat sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara sangat yakin bahwa Islam masuk ke Nusantara pada saat Rasulullah masih hidup di Makkah dan Madinah. Bahkan Mansyur Suryanegara lebih berani lagi dengan menegaskan bahwa sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, saat masih memimpin kabilah dagang kepunyaan Khadijah ke Syam dan dikenal sebagai seorang pemuda Arab yang berasal dari keluarga bangsawan Quraisy yang jujur, rendah hati, amanah, kuat, dan cerdas, di sinilah ia bertemu dengan para pedagang dari Nusantara yang juga telah menjangkau negeri Syam untuk berniaga.

Sebab itu, ketika Muhammad diangkat menjadi Rasul dan mendakwahkan Islam, maka para pedagang di Nusantara sudah mengenal beliau dengan baik dan dengan cepat dan tangan terbuka menerima dakwah beliau itu,” ujar Mansyur yakin.

Dalam literatur kuno asal Tiongkok tersebut, orang-orang Arab disebut sebagai orang-orang Ta Shih, sedang Amirul Mukminin disebut sebagai Tan mi mo ni’. Disebutkan bahwa duta Tan mi mo ni’, utusan Khalifah, telah hadir di Nusantara pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah dan menceritakan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dengan telah tiga kali berganti kepemimpinan. Dengan demikian, duta Muslim itu datang ke Nusantara di perkampungan Islam di pesisir pantai Sumatera pada saat kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan (644-656 M). Hanya berselang duapuluh tahun setelah Rasulullah SAW wafat (632 M).

Catatan-catatan kuno itu juga memaparkan bahwa para peziarah Budha dari Cina sering menumpang kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang Arab sejak menjelang abad ke-7 Masehi untuk mengunjungi India dengan singgah di Malaka yang menjadi wilayah kerajaan Budha Sriwijaya.
Gujarat Sekadar Tempat SinggahJelas, Islam di Nusantara termasuk generasi Islam pertama. Inilah yang oleh banyak sejarawan dikenal sebagai Teori Makkah. Jadi Islam di Nusantara ini sebenarnya bukan berasal dari para pedagang India (Gujarat) atau yang dikenal sebagai Teori Gujarat yang berasal dari Snouck Hurgronje, karena para pedagang yang datang dari India, mereka ini sebenarnya berasal dari Jazirah Arab, lalu dalam perjalanan melayari lautan menuju Sumatera (Kutaraja atau Banda Aceh sekarang ini) mereka singgah dulu di India yang daratannya merupakan sebuah tanjung besar (Tanjung Comorin) yang menjorok ke tengah Samudera Hindia dan nyaris tepat berada di tengah antara Jazirah Arab dengan Sumatera.

Bukalah atlas Asia Selatan, kita akan bisa memahami mengapa para pedagang dari Jazirah Arab menjadikan India sebagai tempat transit yang sangat strategis sebelum meneruskan perjalanan ke Sumatera maupun yang meneruskan ekspedisi ke Kanton di Cina. Setelah singgah di India beberapa lama, pedagang Arab ini terus berlayar ke Banda Aceh, Barus, terus menyusuri pesisir Barat Sumatera, atau juga ada yang ke Malaka dan terus ke berbagai pusat-pusat perdagangan di daerah ini hingga pusat Kerajaan Budha Sriwijaya di selatan Sumatera (sekitar Palembang), lalu mereka ada pula yang melanjutkan ekspedisi ke Cina atau Jawa.

Disebabkan letaknya yang sangat strategis, selain Barus, Banda Aceh ini telah dikenal sejak zaman dahulu. Rute pelayaran perniagaan dari Makkah dan India menuju Malaka, pertama-tama diyakini bersinggungan dahulu dengan Banda Aceh, baru menyusuri pesisir barat Sumatera menuju Barus. Dengan demikian, bukan hal yang aneh jika Banda Aceh inilah yang pertama kali disinari cahaya Islam yang dibawa oleh para pedagang Arab. Sebab itu, Banda Aceh sampai sekarang dikenal dengan sebutan Serambi Makkah.(Rz, /eramuslim)

Selasa, 31 Januari 2012

ANJURAN UNTUK MENANAM.......

Dalam anjuran ini, ada beberapa hadits yang mendukung, namun akan saya sebutkan beberapa diantaranya.

Pertama: Dari Anas RA. bahwa Nabi SAW bersabda:

٧. اَ ْلاَوَّلُ : هَنْ اَنَسٍ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهَ وَسَلَّمَ ,, مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرُسُ غَرْسًا اَؤيَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرُ اَؤاِنْسَانٌ اَؤبَهِيْةٌ اِلاَّ كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةُ

”Seorang mulim yang menanam atau menabur benih, lalu ada sebagian yang dimakan oleh burung atau manusia, ataupun oleh binatang, niscaya semua itu akan menjadi sedekah baginya.“

          Hadits itu diriwayatkan oleh Imam Bukhari (2/67, cet. Eropa), Imam Muslim (5/28) dan Imam Ahmad (3/147).

Kedua: Dari Jabir RA. secara marfu’ :

٨. اَلشَّانِى عَنْ جَابِرٍ مَرْفُؤعًا مَامِنْ مُسْلِمِ يَغْرُسُ غَرْسًااِلاَّمَااُكِلَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَاسُرِقْ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةٌ , وَمَااَكَلَتِ الطَّيْرُ فَهُوَلَهُ صَدَقَةٌ ، وَلاَيَرْزَءُؤهُ – اَى يَنْقُصُهُ وَيَأْخُذُمِنْهُ – اَحدْ اِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةٌ . – اِلى يَؤمِ الْقِيَامَةِ -

”Seorang muslim yang menanam suatu tanaman, nisyacمa apa yang termakan akan menjadi sedekah, apa yang tercuri akan menjadi sedekah, dan apapun yang diambil oleh seseorang dari tanaman itu akan menjadi sedekah bagi pemiliknya sampai hari kiamat datang.“

          Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jabir RA. yang kemudian diriwayatkan secara bersama dengan Imam Ahmad (3/391) dari sanad lain dengan sedikit perbedaan redaksi. Hadits ini mempunyai hadits yang syahid (hadits lain yang senada, yang fungsinya sebagai penguat – penerj.) yaitu hadits Mulim dan Ahmad dari Ummu Mubasyir (6/240, 362). Sedang hadits-hadits lainnya yang juga berfungsi sebagai syahid , disebutkan oleh Al-Mundziri dalam At-Targhib (3/224, 245).

          Ketiga: Diceritakan dari Anas RA. dari Nabi SAW bersabda:

۹. اَلثَّالِثُ : عَنْ أَنَسٍ رَضِى اللّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِي صَلَّى اللّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَالَ : ,, اِنَّ قَامَتِ لسَّاعَةُ وَفِى يد اَحَدكُمْ فسيلةٌ . فَاِن اسْتَطَاع انْ لاَتَقُؤمُ حَتّى يَغْرُسُهَا .

”Kendatipun hari kiamat akan terjadi, sementara di tangan salah seorang di antara kamu masih ada bibit pohon kurma, jika ia ingin hari kiamat tidak akan terjadi sebelum ia menanamnya, maka hendaklah ia menanamnya.“

          Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad (3/83,184, 191), Ath Thayalisi (hadits nomor 2078), Imam Bukhari dalam Al Adab Al Mufrad  (hadits nomor 479) dan Ibnul Arabi di dalam kitabnya Al Mu’jam (1/21), yang dikutip dari hadits Hisyam bin Yazid dari Anas ra.

          Inilah sanad yang shahih sesuai dengan syarat yang ditetapkan oleh Imam Muslim, yang diperkuat dengan hadits matabi’ (searti dengan syahid) yang diriwayatkan oleh Yahya bin Sa’ad dari Anas ra. Hadits ini juga ditakhrij oleh Ibnu Addi di dalam Al Kamil (1/316).

          Sedangkan Al-Haitsami mentakhrijnya (menyampaikan) dengan meringkas redaksinya di dalam Al Mujma’ (4/63), dan mengatakan: ”Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bazzar. Perawi-perawinya adalah tsiqah.“

          Sebagaimana telah saya jelaskan, bahwa hadits ini oleh Imam Ahmad disebutkan dengan redaksi lebih panjang.

          Kata al-fusilah searti dengan kata al-wadiyyah, yaitu anak pohon kurma (bibitnya).

          Selain hadits-hadits tersebut, tampaknya tidak ada hadits lain yang lebih menunjukkan adanya anjuran untuk menjadikan lahan agar lebih produktif, lebih-lebih hadits yang terakhir di atas di mana menyiratkan pesan yang cukup dalam agar seseroang memanfaatkan hidupnya untuk menanam sesuatu yang dapat dinikmati oleh orang-orang sesudahnya, hingga pahalanya tetap mengalir sampai hari kiamat tiba. Hal itu akan ditulis sebagai amal sedekahnya (sedekah jariyah).

          Imam Bukhari menerjemahkan hadits ini dengan penjelasannya:  Babu Ishthina’il Mal. Kemudian hadits itu diriwayatkan oleh Al-Harits bin Laqith, ia mengatakan: ”Ada seseorang di antara kami yang memiliki kuda yang telah beranak pinak, lalu disembelihnya kuda itu. Setelah itu ada surat dari Umar yang datang kepada kami, yang isinya: ”Peliharalah dengan baik rezki yang telah diberiakan oleh Allah I kepada kalian. Sebab dalam hal yang demikian itu terdapat kemudahan bagi pemiliknya.“ Sanad hadits tersebut adalah shahih.

          Sementara itu ada lagi hadits lain yang diriwayatkan oleh Dawud dengan sanad yang shahih, ia mengatakan: ”Abdullah bin Salam berkata kepadaku:

اِنْ سَمِعْتُ بِالدَّجَالِ قَدْخَرَجَ وَاَنْتَ عَلى وَدَّيتٍ تَغْرُسُهَا فًلاَ تَجْعَلْ اَنْتُصْلِحَهُ , فَاِنَّ لِلنَّاسِ بَعْدَ ذلِكَ عَيْشًا

”Jika engkau mendengar bahwa Dajjal telah keluar, padahal engkau masih menanam bibit kurma, maka janganlah engaku tergesa-gesa memperbaikinya, karena masih ada kehidupan manusia setelah itu.“

          Yang dimaksud Dawud di sini adalah Abu Dawud Al-Anshari. Ia dinilai oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar sebagai orang yang diterima haditsnya (al-maqbul).

          Ibnu Jarir juga meriwayatkan sebuah hadits yang berasal dari Amarah bin Khuzaimah bin Tsabit yang berkata:


سَمِعْتُ عُمَرَ بْنِ اْلخَطَّابِ يَقُؤلُ لاََِبِىْ : مَايَمْنَعُكَ اَنْ تَغْرُسَ اَرْضَكَ ؟ فَقَالَ لَهُ اَبِىْ : اَنَا شَيْخٌ كَبِيْرٌاَمُؤتُ غَدًا , فَقَالَ لَهُ عُمَلرُ : اِعْزَمْ عَلَيْكَ لِتَعْرُسًهَا ؟ فَلَقَدْ رَاَيْتُ عُمَرَبْنِ الْخطَّابِ يَغْرُسُهَا بِيَدِه مَعَ اَبِىْ . كَذَا فِى ,, الجَامِعِ الكَبِيرِ ,, لِلسُّيُطِىْ .
ُ

”Saya mendengar Umar bin Khatab berkata kepada Ayahku: ’Apa yang menghalangimu untuk menanami tahahmu?’ Ayah saya menjawab: ’Saya sudah tau dan besok akan mati.’ Kemudian Umar berkata: ’Aku benar-benar menghimbau agar Engaku mau menanaminya.’ Tak lama kemudian saya benar-benar melihatnya (Umar bin Khattab) menanam sendiri bersama ayah saya.“ Hadis ini bisa dilihat di dalam Al-Jami’ Al-Kabir, karya As Suyuti (3/3372).

          Oleh karena itu ada sebagian sahabat yang menganggap bahwa orang yang bekerja mengolah dan memanfaatkan lahannya adalah karyawan Allah SWT. Imam Bukhari di dalam kitabnya Al-Adab Al-Mufrad (nomor 448) meriwayatkan sebuah hadis dari Na’im bin Ashim, bahwa ia mendengar Abdullah Ibnu Amer berkata kepada salah seorang anak saudaranya yang keluar ke tanah lapang (kebun): ”Apakah para karyawanmu sedang bekerja?“

          ”Saya tidak tahu.“ Kata anak saudaranya.

         Lalu Abdullah Ibnu Amer menyambung: “Seandainya engkau orang yang terdidik, nisyaca engkau akan tahu apa yang sedang dikerjakan oleh para karyawanmu.” Kemudian ia (Abdullah Ibnu Amer) menoleh kepada kami, seraya berkata: ”Pada apa yang dimilikinya”) maka ia termasuk karyawan Allah SWT .

          Insya Allah sanad hadits ini hasan.

         Kata al-wahthu berarti al-butsan (kebun), yaitu tanah lapang yang luas milik Amer bin Ash yang berada di Thaif, kurang lebih tiga mill dari Wajj. Tanah itu telah diwariskan kepada anak-anaknya (termasuk Abdullah). Ibnu Asakir meriwayatkan di dalam kitabnya At-Tarikh (13/264//12) dengan sanad yang shahih dari Amer bin Dinar, ia mengatakan: ”Amer bin Ash berjalan memasuki sebidang kebun miliknya yang ada di Thaif yang biasa dikenal dengan al-wahthu. Di tanah itu terdapat satu juta kayu yang dipergunakan untuk menegakkan pohon anggur. Satu batangnya dibeli dengan harga satu dirham.

          Inilah beberapa perkataan sahabat yang muncul akibat memahami hadits-hadits di atas.

        Imam Bukhari memberi judul untuk dua hadits yang pertama dengan judul: ”Keutamaan Tanaman yang Dapat Dimakan.” di dalam kitab shahihnya. Dalam hal ini Ibnul-Munir berkomentar:

        Imam Bukhari memberi insyarat tentang kebolehan bertanam. Adapun larangan bertaman seperti dikatakan oleh Umar adalah apabila pekerjaan bertanam itu sampai melalaikan perang atau tugas lain yang lebih mendesak untuk dilaksanakan.
        Wallahu a'lam bishawwab...